0
0
Fenomena quiet quitting, di mana karyawan melakukan pekerjaan sesuai deskripsi pekerjaan minimal tanpa komitmen ekstra, mulai menjadi perhatian di lingkungan kerja Asia, menantang budaya kerja yang seringkali menekankan loyalitas, jam kerja panjang, dan dedikasi di luar tugas formal. Meskipun istilah ini baru populer belakangan, konsepnya mungkin sudah ada, tetapi kini mendapatkan sorotan karena generasi muda semakin menyuarakan kebutuhan akan keseimbangan hidup dan kerja.
Budaya kerja di banyak negara Asia secara tradisional menghargai kerja keras, loyalitas kepada perusahaan, dan kemauan untuk melampaui tugas yang ditetapkan. Jam kerja panjang, bahkan di luar jam kantor, seringkali dianggap sebagai tanda dedikasi. Ekspektasi untuk selalu “siap” dan berkorban untuk perusahaan telah menjadi norma. Namun, generasi yang lebih muda, terutama Generasi Z dan Milenial, mulai mempertanyakan norma-norma ini.
Penyebab quiet quitting beragam. Kelelahan (burnout) akibat tuntutan kerja yang berlebihan, kurangnya pengakuan atau apresiasi, gaji yang stagnan, dan perasaan bahwa usaha ekstra tidak dihargai, adalah faktor-faktor pendorong utama. Pandemi COVID-19 juga memainkan peran, memaksa banyak orang untuk meninjau kembali prioritas hidup mereka dan pentingnya kesejahteraan pribadi.
Fenomena ini mendorong perusahaan-perusahaan di Asia untuk mengevaluasi ulang budaya kerja dan ekspektasi mereka. Penting bagi manajemen untuk membangun lingkungan kerja yang lebih suportif, memberikan pengakuan yang adil, memastikan kompensasi yang kompetitif, dan mempromosikan keseimbangan kehidupan kerja yang sehat. Dengan memahami dan mengatasi akar penyebab quiet quitting, perusahaan dapat menciptakan tenaga kerja yang lebih terlibat, produktif, dan bahagia, yang pada akhirnya akan menguntungkan semua pihak.
